Mengenang Sastra Jawa Klasik Lewat Centhini

cen“Jayengresmi jalan beberapa hari tanpa menemui petualangan yang patut dicatat. Ia bergegas menuju ke pelabuhan Pekalongan dengan harapan di sana bisa menemukan kedua adiknya yang barangkali dibawa berlayar seorang nakhoda murah hati dari Giri hingga Pesisir.

Lama ia diam memandangi lautan, memperhatikan gerak gerik perahu-perahu ringan serta kapal-kapal berat yang bongkar muat usuk jati, karung-karung merica dan gula, guci-guci kesturi, gulungan sutra dan kain antelas. Di sana ada orang Arab, Persia, India, saudagar dari Gujarat, Malaka, dan Malabar, seolah seluruh dunia telah berjanji bertemu di pangkalan Pekalongan”.

Itulah dua penggalan dari Tembang 17 yang terdapat dalam buku “Centhini, Kekasih Yang Tersembunyi” karya penulis Prancis Elizabeth D. Inandiak. Buku ini disusun dari karya sastra Jawa amat fenomenal berjudul Suluk Tambangraras. Tambangraras adalah nama salah satu tokoh perempuan dalam karya ini. Sesuai dengan judulnya, Suluk, karya ini terdiri dari tembang-tembang yang jumlahnya mencapai ribuan. Suluk Tambangraras pada perjalanannya kemudian lebih dikenal dengan nama “Serat Centhini”. Centhini adalah nama seorang perempuan yang merupakan abdi (pembantu) dari Tambangraras.

Suluk Tambangraras disusun oleh tiga pujangga Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura atas perintah putra mahkota kesultanan Surakarta (Solo) Pangeran Anom Hamengkunegara III (Pakubuwono IV) yang menginginkan disusunnya kisah kuno dalam bentuk tembang yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa bahkan hingga seni hidup, agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal.

Buku ini adalah buku berbahasa Prancis. Dalam penyusunannya, dibantu sastrawati Indonesia, Inandiak menerjemahkan tembang-tembang Serat Centhini dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia lalu bahasa Prancis. Jadi isi buku ini diterjemahkan dari bahasa Indonesia, lalu Prancis, lalu Indonesia lagi, lucu juga. Namun barangkali tidak seperti penulis buku-buku Centhini sebelumnya, Inandiak menambahkan perkataan atau ungkapan yang bersumber dari berbagai literatur (terutama mengenai tasawuf) tanpa mengubah jalan cerita.

Saya mengenal Centhini sudah beberapa tahun, namun jujur saja, saya baru membacanya sekarang. Saya tidak akan membahas soal seksualitas Centhini, karena sudah banyak yang menulis tentang itu. Saya akan fokus pada ceritanya saja.

Serat Centhini mengisahkan perjalanan seorang pangeran muda dari Kerajaan Giri bernama Jayengresmi dalam menemukan kedua adiknya Pangeran Jayengsari dan Putri Rancangkapti. Serangan balatentara Sultan Agung terhadap Kerajaan Giri membuat kerajaan itu runtuh. Dalam situasi kacau balau dan keraton yang terbakar, ketiga kakak beradik itu terpisah. Mereka melarikan diri takut tertangkap tentara Sultan Agung. Adapun ayah mereka, Sunan Giri III yang saat itu memerintah, ditawan oleh balatentara Sultan Agung dan dibawa ke penjara Mataram. Sultan Agung memerintahkan menangkap putra-putri Sunan Giri hidup atau mati dan menempatkan mata-mata di segala penjuru.

Jayengresmi memutuskan untuk mencari kedua adiknya. Ia berjalan ke arah barat, ditemani kedua abdi setianya Gathak dan Gathuk yang ditemuinya di perjalanan. Sementara itu kedua adiknya bersama seorang santri-abdi bernama Buras pergi ke arah timur. Selama di perjalanan, ia mendapat rintangan dan godaan, namun karena kesalehannya ia mampu menepis semua godaan tersebut. Di perjalanan ia bertemu dengan beberapa pertapa dan orang saleh, dan belajar ilmu hikmah kepada mereka. Pengembaraan membawanya ke sebuah padepokan (pesantren) bernama Padepokan Karang. Pemimpinnya, Ki Karang, mengangkatnya menjadi anak sekaligus muridnya.

Beberapa lama Jayengresmi tinggal di Karang hingga suatu hari memutuskan untuk pergi melanjutkan pencarian adik-adiknya. Ki Karang menyuruhnya pergi dan berguru ke Wanamarta, sebuah padepokan besar yang dipimpin oleh Ki Panurta yang menurutnya ilmunya melebihi dirinya. Saat melepasnya pergi, Ki Karang memberikan nama baru untuk Jayengresmi yaitu Amongraga, yang artinya dia yang memikul raganya. Ia juga memberikan nama baru untuk kedua abdinya (Gathak-Gathuk) menjadi Jamal dan Jamil.

Ki Panurta memiliki seorang putri cantik yang sangat cerdas bernama Tambangraras. Kecantikan dan kecerdasannya amat terkenal hingga banyak yang ingin melamarnya, namun selalu ditolak karena ia ingin menikah dengan orang yang ilmunya melebihi ilmu ayahnya. Ketika Amongraga (Jayengresmi) datang ke sana, ia terpukau dengan keluhuran ilmu pangeran Giri tersebut. Tidak lama kemudian Amongraga dan Tambangraras menikah.

Tidak sampai dua bulan menikah, Amongraga memutuskan meninggalkan istrinya demi mencari kembali kedua adiknya. Tambangraras sangat terpukul. Kedua adik Tambangraras sempat mencari Amongraga selama tujuh bulan namun kembali tanpa hasil. Suatu hari, datang Jamal dan Jamil memberitakan bahwa tuan mereka, Amongraga, ditangkap oleh Sultan Agung dan dihukum dengan diceburkan ke samudera atas tuduhan menyebarkan sihir. Namun, Tambangraras bermimpi suaminya masih hidup.

Penasaran, Tambangraras bersama abdi setianya, Centhini, diam-diam lalu pergi dari padepokan untuk mencari Amongraga, dengan menyamar sebagai laki-laki. Berbagai marabahaya mereka temui di perjalanan, namun berkat perlindungan Allah, selalu terhindar. Hingga pada saat Tambangraras sudah kelelahan, putus asa dan tak sanggup meneruskan perjalanan, bertemulah mereka dengan kedua adik Amongraga, Jayengresmi (yang berganti nama menjadi Mangunarsa) dan Rancangkapti yang telah menikah dengan Cebolang (Anggungrimang), di Wanataka, sebuah padepokan terpencil yang menjadi tempat perlindungan adik-adik Amongraga dari kejaran tentara Sultan Agung.

Rupanya selama Amongraga pergi mencari, dalam akhir pengembaraan mereka, Jayengsari dan Rancangkapti bertemu dengan Syekh Akhadiyat pimpinan Padepokan Sokayasa yang mengangkat mereka sebagai anak. Syekh Akhadiyat memiliki seorang putra bernama Cebolang (Anggungrimang) yang kemudian menikahi Rancangkapti. Padepokan terpencil itu disediakan oleh Syekh Akhadiyat sebelum kematiannya untuk melindungi anak dan menantunya.

Tambangraras menceritakan berita kematian Amongraga kepada adik-adiknya, yang membuat mereka sangat terguncang hingga menemui ajal. Tambangraras sendiri hilang kesadaran dan maut juga menjemputnya. Dalam kesedihan, Anggungrimang, Buras (yang berganti nama menjadi Montel), dan Centhini menggali tiga lubang kubur dan mempersiapkan pemakaman.

Dikisahkan, Amongraga setelah diceburkan ke lautan, ternyata tidak meninggal. Dengan kesaktiannya ia kemudian bertapa di dasar samudera. Begitu mengetahui bahwa istri dan adik-adiknya meninggal, ia pun menghentikan tapanya, dan dalam sekejap tiba di Wanataka. Ia menghampiri ketiga jenazah, memberkatinya, dan mereka pun hidup kembali! Ya, istri dan adik-adiknya ternyata belum meninggal, mereka hanya pingsan saja. Bahagia, mereka pun berpelukan erat.

Akhir cerita ini agak membingungkan bagi saya. Dikisahkan, Amongraga mendirikan kerajaan besi, kerajaan tak kasat mata di Pulau Besi (yang juga tak kasat mata) di mana ia menjadi rajanya dan Tambangraras ratunya. Ingin mencapai derajat kebatinan yang lebih tinggi dan membebaskan diri, keduanya lalu menemui Sultan Agung yang konon selain sebagai raja, ia juga setiap malam Jumat berubah menjadi seorang pertapa yang mengajarkan kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri, sang sultan-pertapa menyuruh keduanya berubah wujud menjadi ulat yang kemudian akan dimakan oleh dia sendiri dan Pangeran Pekik, adik ipar sultan. Ulat-Amongraga akan menitis menjadi putra sultan, dan Ulat-Tambangraras menitis menjadi putri Pangeran Pekik, dan mereka akan menikah. Begitulah, kedua ulat dibakar dalam anglo, diletakkan dalam kelopak bunga wijayakusuma lalu dimakan.

Di akhir cerita, Ulat-Amongraga menitis kembali menjadi Pangeran Aria Mataram dan menikah dengan titisan Ulat-Tambangraras, kemudian dinobatkan menjadi Raja Amangkurat I. Anehnya, setelah menitis menjadi raja, Amongraga berubah menjadi raja yang haus darah. Ia membangun keraton baru dengan sistem kerja paksa, membunuh semua yang menentangnya termasuk Pangeran Pekik pamannya, membantai ribuan ulama, dan menculik wanita-wanita.

Ia berperang dengan putranya sendiri, Pangeran Anom, yang bersekutu dengan bermacam-macam suku bangsa. Pangeran menyerang Mataram, sang raja melarikan diri, di tengah pelarian ia diserang dan dirampok penyamun. Ia akhirnya menemui ajal sebelum mencapai pesisir.

Demikianlah inti cerita dalam Serat Centhini. Kisah ini penuh dengan ajaran tentang tasawuf yang berpusat pada pencarian hakikat dan manunggal dengan zat Ilahi. Kita juga dapat melihat penerapan ajaran Islam pada setting cerita, yaitu abad 17, yang sarat percampuran dengan mistisisme Hindu dan Buddha.